Berikut ini
adalah jurnal terkait tentang kebijakan moneter, dengan judul :
"ANALISIS
EMPIRIS EFEKTIVITAS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA MELALUI
JALUR SUKU BUNGA (INTEREST RATE CHANNEL) PERIODE 1990:2-2007:1"
Oleh : Dr.
M. Natsir, SE. MSi. Dosen FE & Program Pascasarjana Unhalu Kendari.
PENDAHULUAN
Permasalahan mengenai Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
(MTKM) masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di
kalangan akademis maupun para praktisi di bank sentral. Menariknya MTKM selalu
dikaitkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi
ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya,
maka melalui mekanisme transmisi apa pengaruh kebijakan moneter terhadap
ekonomi riil tersebut terjadi (Bernanke dan Blinder : 1992) dan Taylor (1995). Sejatinya
penelitian MTKM memberikan penjelasan mengenai bagaimana perubahan (shock) instrument
kebijakan moneter dapat mempengaruhi variabel makroekonomi lainnya hingga
terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter. Seberapa besar pengaruhnya
terhadap harga dan kegiatan di sektor riil, semuanya sangat tergantung pada
perilaku atau respons perbankan dan dunia usaha lainnya terhadap shock
instrumen kebijakan moneter yaitu Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (rSBI).
Meskipun telah banyak dilakukan studi mengenai efektivitas MTKM, baik secara
parsial maupun terintegrasi, namun karena adanya faktor ketidakpastian dan
kecenderungan-kecenderungan baru yang dapat mempengaruhi MTKM, maka penelitian
lanjutan untuk masalah tersebut tetap relevan untuk dilakukan.
Efektivitas MTKM diukur dengan dua indikator yaitu (1).
Berapa besar kecepatan atau berapa tenggat waktu (time lag) dan (2). Berapa
kekuatan variabel-variabel dalam merespons adanya shock instrument kebijakan
moneter (rSBI) dan variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan
moneter. Kedua indikator tersebut diperoleh dari hasil Uji Impulse Response
Function (IRF) dan Uji Variance Decomposition (VD). Mengacu pada uraian-uraian
tersebut, maka peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul: Analisis
Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Di Indonesia Melalui
Jalur Suku Bunga Periode 1990:2-2007:1.
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
(1). Menganalisis dan
membuktikan efektivitas Jalur Suku Bunga dalam MTKM di Indonesia periode
1990:2-2007:1,
(2). Menganalisis dan membuktikan peranan Suku Bunga Pasar Uang
Antar Bank (rPUAB) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter di Indonesia
Manfaat
Teoritis
- Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu ekonomi moneter khususnya kebijakan moneter dan lebih khusus lagi MTKM di Indonesia.
- Memberikan kontribusi berupa penjelasan yang lebih komprehensif, terutama menyajikan bukti empiric mengenai efektivitas Jalur Suku Bunga dalam mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia.
- Menjadi bahan rujukan bagi peneliti lainnya, sehingga dapat melanjutkan penelitian ini dan studi lanjutan untuk jalur-jalur transmisi kebijakan moneter lainnya, misalnya: Jalur Kredit dan Jalur Harga Aset.
Manfaat
Praktis
Temuan penelitian ini secara praktis dapat menjadi masukan
bagi pemerintah dan Bank Indonesia serta peneliti lainnya di bidang kebijakan
moneter, khususnya MTKM. Manfaat praktis yang dimaksud antara lain:
- Evaluasi terhadap efektivitas kebijakan moneter yang dijalankan oleh Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 7 UU No.3/2004 tentang Bank Indonesia yang menugaskan BI untuk mencapai dan memelihara stabilitas nilai rupiah.
- Merumuskan dan menentukan waktu implementasi yang optimal bagi kebijakan moneter dalam upaya meningkatkan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter di Indonesia.
- Diharapkan hasil penelitian ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas MTKM di Indonesia, sehingga dapat menjadi acuan bagi peneliti lain yang dianggap relevan sesuai dengan kondisi dan perkembangan terkini.
LANDASAN
TEORI dan KAJIAN PUSTAKA
Kebijakan
Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan Bank
Sentral dalam mempengaruhi perkembangan variabel moneter (uang beredar, suku
bunga, kredit dan nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu (Litteboy
and Taylor, 2006: 198) dan Mishkin (2004: 457). Sebagai bagian dari kebijakan
ekonomi makro, maka tujuan kebijakan moneter adalah untuk mencapai sasaran-sasaran
kebijakan makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan
kerja, stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran
tersebut merupakan tujuan akhir kebijakan moneter.
Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter dapat
dicapai secara simultan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara
menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan bersifat
kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang kontraktif untuk menekan laju
inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengalaman
empiris menunjukkan bahwa perekonomian memburuk karena kebijakan moneternya
bertujuan ganda.Untuk alasan ini, mayoritas Bank Sentral termasuk BI focus pada
sasaran tunggal yaitu mencapai dan memelihara inflasi yang rendah dan stabil.
Kerangka
Operasi Kebijakan Moneter.
Instrumen-Instrumen Moneter
Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat operasi
moneter yang dapat digunakan oleh Bank Sentral dalam mewujudkan tujuan akhir yang
telah ditetapkan (Solikin dan Suseno, 2002: 26) dan (Ascarya, 2002:51).
Instrumen-instrumen kebijakan moneter terdiri dari: (1). Operasi Pasar Terbuka
(OPT), (2).Tingkat Bunga Diskonto, (3). Giro Wajib Minimum (Reserve
requirement), (4). Himbauan Moral.
Sasaran Operasional (Operational Target).
Sasaran operasional merupakan sasaran yang ingin segera yang
dicapai oleh Bank Sentral dalam operasi moneternya. Variabel sasaran
operasional digunakan untuk mengarahkan tercapainya sasaran antara. Kriteria sasaran
operasional antara lain: (1). Dipilih dari variabel moneter yang memiliki
hubungan yang stabil dengan sasaran antara, (2). Dapat dikendalikan oleh Bank
Sentral, (3). Akurat dan tidak sering direvisi (Mishkin, 2004:347).
Sasaran Antara (Intermediate Target)
Hubungan antara sasaran operasional dan sasaran akhir
kebijakan moneter bersifat tidak langsung dan kompleks serta membutuhkan time
lag yang panjang. Untuk alasan itu, para ahli moneter dan praktisi Bank Sentral
mendesain simple rule untuk membantu pelaksanaan kebijakan moneter dengan cara
menambahkan indikator yang disebut sebagai sasaran antara. Sasaran tersebut
merupakan indikator untuk menilai kinerja keberhasilan kebijakan moneter,
sasaran ini dipilih dari varibel-variabel yang memiliki keterkaitan stabil
dengan sasaran akhir, cakupannya luas, dapat dikendalikan oleh bank sentral,
tersedia relatif cepat, akurat dan tidak sering direvisi. Variabel sasaran
antara meliputi:: agregat moneter (M1dan M2), kredit perbankan dan nilai tukar
(Bofinger, 2001:125).
Sasaran Akhir (Final Target)
Sasaran akhir kebijakan moneter yang ingin dicapai oleh Bank
Sentral tergantung pada tujuan yang dimandatkan oleh UU bank sentral suatu
negara. Tujuan akhir kebijakan moneter di Indonesia mengacu pada Pasal 7 ayat (1)
UU Nomor 3 Tahun 2004 yang secara eksplisit mencantumkan bahwa tujuan akhir
kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah
(stabilitas moneter).
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM).
Secara spesifik Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme
transmisi kebijakan moneter adalah “the process through which monetary policy
decision are transmitted into changes in real GDP and inflation”. Artinya, MTKM
merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter untuk dapat mempengaruhi
sasaran akhir kebijakan moneter yaitu pendapatan nasional dan inflasi. Pada
Skema 1 terlihat kotak hitam yang merupakan area MTKM atau jalur-jalur yang
dilalui oleh suatu kebijakan moneter hingga terwujudnya tujuan akhirnya
kebijakan moneter yaitu inflasi.
Skema 1
MEKANISME
TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER SEBAGAI “BLACK BOX”
Secara teoritis,
konsep standar mekanisme transmisi kebijakan moneter dimulai dari ketika bank
sentral mengubah instrumen-instrumennya yang selanjutnya mempengaruhi sasaran
operasional, sasaran antara dan sasaran akhir. Misalnya Bank Sentral (BI)
menaikkan rSBI. Peningkatan tersebut akan mendorong naiknya Suku Bunga Pasar
Uang Antar Bank (rPUAB), suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset, nilai
tukar dan ekspektasi inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan
bekerjanya jalur-jalur transmisi moneter yang akan selanjutnya berpengaruh
terhadap konsumsi dan investasi, ekspor dan impor yang merupakan komponen
permintaan eksternal dan keseluruhan permintaan agregat.
Secara empiris,
besarnya permintaan agregat tidak selalu sama dengan penawaran agregat. Jika
terjadi selisih antara permintaan dan penawaran atau terjadi outpt gap maka
akan memberi tekanan terhadap kenaikan harga-harga (inflasi) dari sisi
domestik. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi luar negeri terjadi melalui
pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan nilai tukar terhadap perkembangan
harga barang-barang yang diimpor.
Pada awalnya pelaksanaan kebijakan moneter hanya
ditransmisikan melalui Jalur Uang (money channel). Tapi, seiring dengan
kemajuan di bidang ekonomi dan keuangan serta perubahan struktural dalam perekonomian,
maka jalur-jalur MTKM berkembang menjadi enam jalur, salah satu di antaranya
adalah Jalur Suku Bunga (Mishkin, 2004: 125) dan Bofinger (2001: 45). MTKM melalui
Jalur Suku Bunga menekankan peranan perubahan struktur suku bunga di sektor
keuangan. Pengaruh perubahan suku bunga jangka pendek ditransmisikan kepada
suku bunga menengah/panjang yang selanjutnya mempengaruhi permintaan dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap inflasi (Taylor, 1995) dan Bofinger (2001:80).
Kebijakan moneter yang ditransmiskan melalui Jalur Suku
Bunga dapat dijelaskan dalam dua tahap:
Pertama, transmisi di sektor keuangan (moneter). Perubahan
kebijakan moneter berawal dari perubahan instrumen moneter (rSBI) akan
berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga PUAB, suku bunga deposito dan suku
bunga kredit. Proses transmisi ini memerlukan tenggat waktu (time lag)
tertentu.
Kedua, transmisi dari sektor keuangan ke sektor riil tergantung
pada pengaruhnya terhadap konsumsi dan investasi. Pengaruh suku bunga terhadap
konsumsi terjadi karena suku bunga deposito merupakan komponen dari pendapatan
masyarakat (income effect) dan suku bunga kredit sebagai pembiayaan konsumsi (substitution
effect). Sedangkan pengaruh suku bunga terhadap investasi terjadi karena suku
bunga kredit merupakan komponen biaya modal.
Pengaruh suku bunga terhadap konsumsi dan investasi
selanjutnya akan berdampak pada jumlah permintaan agregat. Jika peningkatan
permintaan agregat tidak dibarengi dengan peningkatan penawaran agregat, maka akan
terjadi output gap (OG). Tekanan OG akan berpengaruh terhadap tingkat inflasi.
Mengacu pada penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa inflasi yang terjadi
melalui jalur ini adalah inflasi akibat tekanan permintaan (demand
pull-inflation). MTKM melalui Jalur Suku Bunga dapat disimak pada Skema 2.
Skema 2
MEKANISME
TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER MELALUI JALUR SUKU BUNGA
Indikator
Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Efektivitas MTKM diukur dengan dua indikator, yaitu: (1).
Berapa kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan (2). Kekuatan
variabel-variabel pada jalur tranmsisi moneter dalam merespons shock rSBI
hingga terwujudnya sasaran akhir. Indikator kecepatan diukur dari berapa time
lag yang dibutuhkan oleh variable-variabel dalam suatu jalur untuk merespons
shock instrumen kebijakan hingga tercapainya sasaran akhir (inflasi).
Indikator kekuatan variabel dalam merespons shock suatu
variabel diukur dengan order of magnitude. Jika order of magnitude suatu
variabel semakin lebar (jauh dari titik keseimbangan), maka semakin kuat variabel
tersebut merespons shock instrumen moneter atau perubahan variabel lainnya.
Indikator untuk kekuatan respons juga dapat dilihat dari Uji VD.
METODE
PENELITIAN
Jenis dan Rancangan Penelitian.
Penelitian dapat dikelompokkan sebagai penelitian
eksplanatori. Tapi secara spesifik penelitian ini melampaui substansi jenis
penelitian tersebut, karena penelitian ini fokus pada analisis kecepatan dan
kekuatan respons suatu variabel terhadap shock variabel lainnya.
Model Penelitian
Model penelitian mengenai efektivitas MTKM menggunakan model
Vector Auto Regression (VAR). Apabila semua variabel yang dilibatkan dalam penelitian
ini dirumuskan dalam model VAR, maka model penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Definisi
Operasional Variabel Penelitian
Definisi operasional variabel-variabel penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Inflasi Inti
(INF) adalah jenis inflasi yang sepenuhnya dikontrol oleh kebijakan moneter
yang diukur dalam persen, yaitu IHK yang telah direduksi dari pengaruh noise
yang bersumber dari guncangan sisi penawaran. Data inflasi inti merupakan data
triwulan periode tahun 1990:2- 2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI,
Laporan Tahunan BI dan International Financial statistic (IFS) berbagai edisi
penerbitan
2. Suku Bunga SBI (rSBI). Suku bunga SBI adalah tingkat suku
bunga yang ditentukan atau dikenakan oleh BI atas penerbitan SBI, suku bunga
SBI tersebut diukur dalam persen. Data rSBI merupakan data triwulan periode
tahun 1990:2-2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan Tahunan BI serta
IFS berbagai edisi penerbitan
3. Suku Bunga Pasar Uang Antar Bank (rPUAB) adalah tingkat suku
bunga ditentukan atau dikenakan oleh pihak bank kepada bank yang melakukan
pinjaman di Pasar Uang Antar Bank atas penerbitan PUAB. Suku bunga tersebut
diukur dalam persen. Data rPUAB merupakan data triwulan periode tahun 1990:2-2007:1.
Data tersebut diperoleh dari: SEKI dan Laporan Tahunan BI serta IFS berbagai
edisi penerbitan
4. Suku Bunga Deposito (rDEPO) adalah tingkat suku bunga yang
berlaku pada deposito bank umum dengan jangka waktu tiga bulan. Suku bunga
tersebut diukur dalam persen. Data rDEPO merupakan data triwulan periode tahun
1990:2 - 2007:1. Data tersebut diperoleh dari: SEKI, Laporan Tahunan BI dan IFS
berbagai edisi penerbitan
5. Output Gap (OG). OG adalah selisih antara PDB aktual dengan
PDB potensial. PDB potensial diproxy dari trend PDB aktual yang dihitung dengan
metode Hodrick-Prescott Filter (HPF). Metode ini merupakan metode smoothing
yang lazim digunakan untuk estimasi yang akurat mengenai komponen kecenderungan
jangka panjang suatu data time series (Maski, 2005). Data OG merupakan data
triwulan periode 1990:2-2007:1, data tersebut diperoleh dari: Laporan Tahunan
BI dan BPS serta SEKI.
6. Suku Bunga Kredit (rKRDT) adalah tingkat suku bunga yang
diberlakukan oleh perbankan kepada debiturnya yang diukur dalam satuan persen.
Data rKRDT merupakan data triwulan periode tahun 1990:2–2007:1 yang diperoleh
dari: SEKI dan Laporan Tahunan BI serta IFS.
Alat
Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pengujian model VAR. Dalam model ini setiap variabel
dianggap simetris, karena sulit menentukan secara pasti apakah suatu variabel
bersifat eksogen atau endogen. Sistem atau model VAR tidak tergantung pada
teori, namun mensyaratkan adanya beberapa pengujian antara lain: Uji
Stasioneritas, Uji Kausalitas Granger dan Uji Kointegrasi serta Penentuan Lag Optimal.
ANALISIS
HASIL PENELITIAN
Hasil Uji Stasioneritas
Uji stasioneritas variabel dilakukan
dengan Uji Akar Unit metode Augmented Dickey-Fuller test (ADF) dengan cara
membandingkan antara ADF statistic dengan critical values Mac Kinnon pada
derajat signifikansi 1%, 5% dan 10%. Dari uji stasioneritas disimpulkan tidak
menolak Ho artinya keenam variable mengandung akar unit, kecuali untuk variabel
inflasi (INF) yang sudah stasioner. Untuk alasan itu, maka dilakukan uji
stasioneritas pada first difference. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa
masing-masing variable telah berintegrasi pada derajat pertama atau I(1).
Artinya, series data tersebut valid digunakan untuk pengujian Kointegrasi.
Hasil Pengujian Kausalitas Granger
Uji Kausalitas Granger antar variabel
penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan membuktikan arah hubungan jangka
pendek antar variabel (Widarjono, 2007: 244) dan (Hirawan, 2007). Dari hasil
Uji Kausalitas variabel penelitian, yaitu: hubungan antara rSBI dengan rPUAB,
rSBI dengan rDEPO, rSBI dengan rKDRT dan rSBI dengan INF serta rPUAB dengan INF
memiliki hubungan “Granger cause”. Artinya variabelvariabel tersebut saling
mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, perubahan rSBI berpengaruh
signifikan terhadap rPUAB, demikian pula sebaliknya.
Sementara itu, rPUAB dengan rKRDT,
rPUAB dengan rDEPO, rKRDT dengan rDEPO dan rKRDT dengan INF serta OG dengan INF
memiliki hubungan satu arah. Sedangkan hubungan antara rSBI dengan OG, rPUAB
dengan OG, rKRDT dengan OG dan rKRDT dengan INF serta rDEPO dengan OG tidak
ditemukan adanya hubungan yang sifnifikan.
Hasil Uji Kointegrasi: Johansen
Pasangan variabel yang berkointegrasi
menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai hubungan jangka panjang.
Hal ini senada dengan pendapat Granger dalam Baltagi (2004: 89) bahwa jika
variabelvariabel yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka
sejatinya variabel-variabel tersebut telah berkointegrasi. Tapi untuk lebih
meyakinkan mengenai hal tersebut, maka dilakukan Uji Kointegrasi dengan menggunakan
metode Johansen.
Dari hasil Uji Kointegrasi dapat
disimpulkan bahwa semua persamaan dalam MTKM melalui Jalur Suku Bunga telah
berkointegrasi pada level 1% atau variabel-variabel melalui jalur ini memiliki
hubungan jangka panjang. Hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa variabel rSBI,
rPUAB, rDEPO, rKRDT dan OG serta INF memiliki kestabilan jangka panjang.
Penentuan Lag Optimal
Penentuan panjang lag optimal
menggunakan beberapa krietria informasi antara lain: Likelihood Ratio Test
(LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC) dan
Schwarz Criterion (SC) serta Hannan-Quinn (HQ). Hasil penentuan lag optimal
menunjukkan bahwa masing-masing kriteria memiliki nilai referensi lag optimal
yang berbeda. Kriteria LR dan FPE serta HQ mereferensikan lag empat sebagai lag
optimal. Sedangkan kriteria SC mereferensikan lag tiga dan kriteria AIC
mereferensikan lag lima sebagai lag yang optimal. Penelitian ini menggunakan
lag yang direkomendasikan oleh kriteria SC, yaitu lag 3 (tiga).
Efektivitas Mekanisme Transmisi Moneter
Melalui Jalur Suku Bunga.
Analisis efektivitas MTKM melalui Jalur
Suku Bunga didasarkan pada hasil Uji IRF yang ditampilkan pada Gambar 1 dan
hasil Uji VD Inflasi yang terangkum pada Tabel.1. Tahapan-tahapan analisisnya
adalah sebagai berikut:
Tahap
pertama: panel (a).
Pada tahap ini diuraikan mengenai
analisis hubungan antara instrumen kebijakan moneter (rSBI) dengan rPUAB
sebagai sasaran oprasional kebijakan moneter. Gambar 1 panel (a) menunjukkan
bahwa respons rPUAB terhadap shock rSBI mengalami peningkatan satu standar
deviasi rSBI dan mencapai titik tertinggi pada periode kelima dan setelah
periode tersebut rPUAB berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan (konvergen).
Pada periode kedelapan shock rSBI direspons negatif oleh rPUAB hingga periode
kesepuluh. Panel (a) juga menunjukkan bahwa diperlukan time lag 1 (satu)
triwulan bagi rPUAB untuk dapat merespons shock rSBI dan respons rPUAB terhadap
shock rSBI relatif kuat.
Tahap
kedua: panel (b)
Pada tahap ini diuraikan mengenai
hubungan antara rPUAB dengan rDEPO. Gambar 1 panel (b) menunjukkan bahwa
respons rDEPO terhadap shock rPUAB mengalami peningkatan satu standar deviasi
rPUAB yang mencapai titik tertinggi pada periode kelima setelah terjadi shock.
Setelah periode tersebut rDEPO berangsur-angsur menuju keposisi keseimbangan
(konvergen). Panel (b) juga menunjukkan bahwa diperlukan time lag satu triwulan
bagi rDEPO untuk dapat merespons shock rPUAB , respons rDEPO terhadap shock rPUAB
relatif kuat.
Tahap
ketiga: panel (c)
Pada tahap ini diuraikan mengenai
analisis hubungan antara rKRDT dengan rDEPO. Gambar 1 panel (c) menunjukkan
bahwa respons rKRDT terhadap shock rDEPO mengalami penurunan satu standar
deviasi rDEPO yang mencapai titik terendah pada periode keenam setelah terjadi
shock. Setelah periode tersebut, rKRDT berangsur-angsur menurun menuju posisi
keseimbangan hingga periode kesepuluh. Dari panel (c) tampak bahwa diperlukan
time lag empat triwulan bagi rKRDT untuk dapat merespons shock rDEPO. Dan respons
rKRDT terhadap shock rDEPO relatif lemah.
Tahap
keempat: panel (d)
Pada tahap ini diuraikan mengenai
analisis hubungan antara output gap (OG) dengan rKRDT. Gambar 1 panel (d)
menunjukkan bahwa respons OG terhadap shock rKRDT mengalami penurunan sebesar
satu standar deviasi rKRDT yang mencapai titik terendah pada periode ketiga
setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut OG berangsur-angsur menuju
posisi keseimbangan. Pada periode kelima dan selanjutnya mengalami peningkatan
hingga periode kesepuluh. Panel (d) juga menunjukkan bahwa diperlukan time lag satu
triwulan bagi OG untuk dapat merespons shock rKRDT dan respons OG terhadap
shock rKRDT relatif lemah
Gambar 1
HASIL UJI IRF JALUR SUKU BUNGA
Tahap
kelima: Panel (e)
Gambar 1 panel (e) menunjukkan bahwa
respons INF terhadap shock OG mengalami penurunan satu standar deviasi OG yang
mencapai titik terendah pada triwulan kelima setelah terjadinya shock. Setelah periode
tersebut INF berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan yakni pada periode
kedelapan dan selanjutnya mengalami kenaikan hingga periode kesepuluh. Panel
(e) juga mengindikasikan bahwa diperlukan time lag tiga triwulan bagi inflasi
untuk dapat merespon shock OG dan respons inflasi terhadap shock OG relatif lemah.
Dari hasil analisis tersebut, dapat
dikatakan bahwa MTKM moneter melalui Jalur Suku Bunga, sejak dari perubahan
kebijakan moneter melalui shock rSBI hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan
moneter (inflasi) membutuhkan tenggat waktu (time lag) atau dengan kecepatan 10
triwulan. Untuk jelasnya mengenai time lag sejak dari shock rSBI hingga
terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi) dapat dilihat pada Skema
3.
Keterangan: Angka-angka pada jalur merupakan time lag atau
kecepatan
Skema 3
FLOWCHART TIME LAG TRANSMISI MONETER
JALUR SUKU BUNGA
Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada periode pertama, variasi
inflasi yang dapat dijelaskan oleh inflasi sendiri adalah sebesar 80,22% dan
rPUAB sebesar 4,27% serta rKRDT sebesar 8,78%. Selanjutnya pada periode kelima
variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh inflasi sendiri menurun menjadi
sebesar 6,02% dan rPUAB meningkat menjadi 68,98% serta rKRDT meningkat menjadi
sebesar 10,19%. Sampai sepuluh periode mendatang variasi inflasi yang dapat
dijelaskan oleh inflasi sendiri semakin menurun menjadi sebesar 4,01%, sementara
variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh rPUAB meningkat menjadi sebesar
63,11% dan rKRDT meningkat menjadi 15,33% serta rDEPO sebesar 6,14%. Hasil ini
menunjukkan bahwa rPUAB memiliki predictive power atau Granger causality yang
kuat dan mampu menjelaskan variasi sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia
yaitu sebesar 63,11%.
PEMBAHASAN
Perubahan kebijakan moneter melalui shock rSBI direspons
dengan cepat oleh rPUAB. Hasil ini menunjukkan bahwa rSBI secara efektif
berfungsi sebagai instrumen moneter bagi BI dalam mengkomunikasikan stance kebijakan
moneter di Indonesia. Respons rPUAB terhadap shock rSBI diteruskan ke variabel
suku bunga pasar uang lainnya, yaitu rDEPO dan rKRDT. Hasil ini sejalan dengan
hasil Uji Kointegrasi yang menunjukkan bahwa variabel-variabel penelitian ini
memiliki kestabilan jangka panjang.
Jika dibandingkan dengan respons rDEPO terhadap shock rPUAB
dan respons rPUAB terhadap shock rSBI, maka respons rKRDT terhadap perubahan
rDEPO relatif lama dan tidak kuat. Hasil ini menunjukkan bahwa perbankan tidak
bereaksi optimal terhadap shock instrumen moneter (rSBI). Artinya, adanya
penurunan rSBI tidak secara simetris diikuti oleh penurunan rKRDT perbankan dan
tidak diikuti pula peningkatan penyaluran kredit oleh bank komersial.
Respons perbankan yang tidak optimal terhadap perubahan
kebijakan moneter disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: (1). Intervensi
pemerintah dan BI terhadap perbankan melalui Paket Kebijakan 29 Januari 1990
yang mewajibkan bagi setiap bank persero dan swasta memberikan alokasi 20% dari
total kreditnya dalam bentuk kredit usaha kecil (KUK). (2). Perbankan fokus
pada menjaga CAR dan tingkat profitabilitasnya.(3). Keputusan perbankan dalam
pemberian kredit lebih banyak ditentukan oleh faktor yang non-price antara lain
pertimbangan risiko investasi yang masih tinggi di sektor riil. Kondisi ini
menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan belum sepenuhnya pulih yang pada
akhirnya akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter.
Di samping faktor-faktor tersebut, perlambatan penyaluran
kredit baru juga dipengaruhi oleh struktur bunga setelah krisis moneter yang
menunjukkan bahwa rSBI lebih tinggi dibanding rDEPO perbankan dan sejak pertengahan
tahun 2003 terjadi spread positif antara rSBI dan rDEPO (Arifin, 2004 dalam
Maski, 2005). Kondisi ini menyebabkan bank-bank pemerintah dan swasta serta
Bank Pembangunan Daerah (BPD) termanjakan untuk memanfaatkan spread positif
dengan menempatkan dananya pada SBI dan tren ini masih berlangsung hingga awal
tahun 2008.
Hasil Uji VD yang terangkum pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
rPUAB sebagai sasaran operasional mampu menjelaskan variasi inflasi sebagai
sasaran akhir kebijakan moneter sebesar 63,11%. Sementara, variabel rDEPO
sebesar 6,14% dan rKRDT sebesar 15,33%) dan OG sebesar 6,80%. Hasil ini
menunjukkan bahwa informasi masa lalu dan masa kini dari rPUAB dapat secara signifikan
membantu menjelaskan forecast dari variasi sasaran akhir kebijakan moneter
(inflasi). Tapi, hasil ini tidak dapat dimaknai bahwa shock inflasi merupakan
hasil atau efek dari shock rPUAB atau sebaliknya. Dengan kata lain, hasil ini bukan
berarti bahwa shock inflasi sebagai variabel eksogen dan shock rPUAB sebagai variabel
endogen (Hirawan, 2007).
Hasil penelitian ini merupakan konfirmasi yang baik bahwa
terdapat Granger causality dan predictive power yang kuat antara rPUAB sebagai
sasaran operasional dengan inflasi sebagai sasarana akhir kebijakan moneter di
Indonesia. Hasil Uji VD sejalan dengan hasil Uji Kausalitas Granger yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah yang signifikan baik
dari rPUAB ke inflasi maupun dari inflasi ke rPUAB.
Hasil penelitian ini mendukung hasil studi Tjahyono dkk
(2002) yang menyimpulkan bahwa rPUAB memenuhi persyaratan “ ability to affect
the ultimate target” sebagai sasaran operasional kebijakan moneter di Indonesia
dan rPUAB memiliki hubungan yang kuat (one-to-one) dengan rSBI dalam MTKM. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan kajian BI yang mendokumentasikan bahwa BI
dapat mengendalikan rPUAB baik melalui mekanisme signalling maupun liquidity
adjusment (Pohan, 2008:227).
Hasil Uji IRF memperkuat hasil penelitian yang dilakukan
oleh Kusmiarso, B dkk (2000), Maski (2005) dan Disyatat and Vonsirikul (2003),
(Nuryakin dan Warjiyo, 2006) serta (Julaihah dan Insukindro, 2004) yang mendokumentasikan
atau menyimpulkan bahwa MTKM melalui Jalur Suku Bunga merupakan jalur yang efektif
dalam mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia.
Hasil Uji VD diperkuat oleh hasil Uji Kausalitas Granger
yang menunjukkan adanya hubungan kausalitas dua arah, baik dari rSBI ke rPUAB
maupun dari rPUAB ke rSBI. Artinya perubahan rSBI dapat direspons secara cepat
oleh rPUAB ataupun sebaliknya. Dengan kata lain, informasi masa lalu dari rSBI
dapat secara signifikan menjelaskan nilai sekarang dari rPUAB atau sebaliknya.
Tapi, hasil ini tidak berarti bahwa perubahan rPUAB merupakan hasil atau efek
dari perubahan rSBI atau sebaliknya.
Pembahasan selanjutnya adalah konfirmasi antara hasil
penelitian dengan dasar teori yang digunakan, yaitu pendekatan harga (price
approach) yang merupakan refresentasi dari teori aliran Keynesians (Bofinger, 2001:80)
dan (Indrawati, 1988:25) yang berpandangan bahwa pengaruh kebijakan moneter
terhadap kenaikan harga (inflasi) bersifat tidak langsung, tapi pengaruh
tersebut melalui perubahan suku bunga di sektor keuangan.
Secara teoritis, kerangka operasi kebijakan moneter di
Indonesia mengacu pada paradigma uang pasif yang berpandangan bahwa transmisi
kebijakan moneter berawal dari shock suku bunga sebagai instrumen kebijakan moneter
yang berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek/menengah dan nilai tukar
selanjutnya mempengaruhi inflasi melalui perubahan permintaan agregat dan
output gap serta ekspektasi inflasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses MTKM melalui
Jalur Suku Bunga telah bekerja dengan efektif dan mengikuti paradigma uang
pasif, yakni shock rSBI berpengaruh terhadap suku bunga jangka pendek, misalnya
rPUAB sebagai sasaran operasional. Selanjutnya ditransmisikan ke sektor riil
melalui pengaruh rDEPO dan rKRDT terhadap output gap dan selanjutnya terhadap
sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Hasil ini merupakan konfirmasi yang
baik bahwa MTKM melalui Jalur Suku Bunga mendukung teori Keynesians dan
kerangka operasi kebijakan moneter dengan pendekatan harga (price approach)
serta paradigma uang pasif.
Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Norrbin (1995)
dalam Tjahyono dkk (2002) yang menyatakan bahwa Jalur Suku Bunga merupakan
jalur transmisi utama dan efektif mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter.
Perubahan kebijakan moneter melalui shock rSBI akan menimbulkan efek likuiditas
terhadap suku bunga pasar uang sehingga mendorong suku bunga bergerak naik atau
turun. Kenaikan suku bunga pasar selanjutnya akan mengakibatkan turunnya
pengeluaran investasi dan konsumsi yang pada gilirannya berpengaruh terhadap
output gap serta tujuan akhir kebijakan moneter (inflasi).
Sementara itu, kebijakan moneter yang kontraktif direspons
positif oleh suku bunga di pasar uang. Jika BI melakukan kontraksi moneter
melalui peningkatan rSBI, maka direspons positif oleh suku bunga jangka pendek
(misalnya rPUAB) sebagai sasaran operasional dan suku bunga lainnya di pasar
keuangan. Artinya, jika terjadi kenaikan rSBI, maka perbankan harus menaikkan
rPUAB dan rDEPO, karena jika tidak demikiam, maka perbankan akan kehilangan
nasabah (deposan) yang akan beralih menempatkan dananya ke SBI yang menawarkan
suku bunga yang lebih tinggi dan memiliki jaminan risiko (Julaihah dan
Insukindro (2004).
Hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian BI
tahun 2006 yang mendokumentasikan bahwa penurunan rSBI ditransmisikan dengan
baik melalui Jalur Suku Bunga. Artinya, sinyal penurunan rSBI telah
ditransmisikan ke rPUAB dan rDEPO. Dengan kata lain, jika terjadi penurunan
rSBI, maka rPUAB juga bergerak turun. Tapi, shock rSBI ditransmisikan secara
terbatas ke rKRDT. Artinya, respons rKRDT terhadap shock rSBI relatif lambat
dan lemah. Misalnya, pada periode bulan Mei sampai Desember 2006 suku bunga
kredit modal kerja dan investasi hanya turun sekitar 0,9%. Sedangkan suku bunga
kredit konsumsi tidak berubah. Penyaluran kredit oleh perbankan pada periode
ini hanya mencapai 14,10% atau lebih rendah dibandingkan dengan target pada
awal tahun sebesar 18%.
Sementara itu, kondisi penawaran agregat di Indonesia yang
relatif kaku. Akibatnya, kebijakan makroekonomi untuk mempengaruhi perekonomian
relatif lemah. Artinya, stimulus dari kebijakan makroekonomi untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi akan dengan cepat diikuti oleh kenaikan harga-harga
(inflasi). Dengan kata lain, inflasi di Indonesia selain dipengaruhi oleh
faktor permintaan juga dipengaruhi oleh faktor penawaran agregat. Artinya,
Inflasi di Indonesia bukan sepenuhnya fenomena moneter, tapi juga dipengaruhi
faktor lain, misalnya kelangkaan penawaran dan distribusi barang dan jasa.
SIMPULAN
dan SARAN
Simpulan
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui Jalur Suku
Bunga efektif mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia periode
1990:2-2007:1. Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui Jalur Suku Bunga
membutuhkan time lag sekitar 10 triwulan hingga terwujudnya sasaran akhir
kebijakan moneter.
Respons variabel-variabel pada jalur ini terhadap shock rSBI
relatif kuat dan variabel utama jalur ini yaitu rPUAB mampu menjelaskan variasi
sasaran akhir kebijakan moneter secara signifikan yakni sebesar 63,11%. Hasil
ini sekaligus menunjukkan bahwa rPUAB berfungsi secara efektif sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter di Indonesia.
Saran
Kepada pemerintah dan BI disarankan untuk senantiasa menjaga
atau mengawasi efisiensi lembaga keuangan (perbankan) agar reaksi optimal atau
respons lembaga tersebut terhadap shock rSBI makin memperkuat terwujudnya
sasaran akhir kebijakan moneter di Indonesia. Pemerintah dan BI untuk tetap
menggunakan rPUAB sebagai sasaran operasional karena variabel tersebut mampu
merespons dengan cepat dan kuat shock rSBI serta mampu menjelaskan variasi
inflasi secara signifikan, yakni sebesar 63,11%.
Sumber :