RSS

Tugas Softskill Post.4 " REVIEW Jurnal Hukum Perjanjian '

JUAL BELI SUARA PADA PEMILIHAN UMUM DALAM PRESPEKTIFHUKUM PERJANJIAN

oleh: Abdul Halim Barkatullah
Dosen Fakultas Hukum UNLAM Banjarmasin
E-mail: dr.halim_barkatullah@yahoo.co.id




Jual Beli Suara dalam Perspektif Hukum Perjanjian

1. Hukum Jual Beli Suara

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu kebendaan, dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.13

Kata jual beli menunjukkan bahwa dari satu pihak perbuatan dinamakan menjual, sedang dari pihak yang lain dinamakan membeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik (koop en verkoop) yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu "verkoopt" (menjual) sedang yang lainnya "koopt" (membali).14 Benda yang menjadi objek penjanjian jual beli harus cukup tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya pada saat ia akan diserahkan hak miliknya kepada si pembeli.

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas "konsensualisme" yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya "sepakat" mengenai barang dan harga. Begitu kedua pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.15

Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 yang berbunyi "Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar".

Konsesualisme berasal dari perkataan "consensus" yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu ada pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam "sepakat" tersebut. Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan misalnya "setuju", "accoord", "oke" dan lain-lain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu. 

Asas konsensualisme haruslah disimpulkan dari Pasal 1320, yaitu pasar yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan tidak dari Pasal 1338 (1). Pasal 1338 (1) yang berbunyi "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang  membuatnya" itu dimaksudkan untuk menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu undang-undang. Kekuatan seperti itu diberikan kepada "semua perjanjian yang dibuat secara sah". Apakah yang dinamakan "Perjanjian yang (dibuat secara) Sah" itu? Jawabannya diberikan oleh Pasal 1320 yang menyebutkan satu persatu syarat-syarat untuk perjanjian yang sah itu. Syarat-syarat itu adalah : 
1 sepakat, 
2 kecakapan, 
3 hal tertentu dan
4. causa (sebab isi) yang legal

 Dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja dituntutnya sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun seperti tulisan pemberian tanda atau panjer (formalitas) apapun, sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

2. Keabsahan Perjanjian Jual Beli Suara

Dalam Pasal 1338 (1) yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat sebagai undang-undang, pasal ini tidak memberikan kriterium perjanjian apa saja yang mengikat sebagai undang-undang, jadi perjanjian jual beli suara dapat dimasukan mengikat sebagai undang-undang apabila telah di setujui. Namun yang menjadi pertanyaan apakah perjanjian ini telah sah apabila tercapai kesepatakan.

Jawaban diberikan oleh Pasal 1320 cukup apabila sudah tercapai sepakat (consensus). Kesepakatan berarti persesuaian kehendak. Namun ke hendak atau keinginan ini harus dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan di dalam hati, tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat yang diperlukan untuk melahirkan suatu perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada pengucapan perkataan-perkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda apa saja yang dapat diterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang mengambil prakarsa yaitu pihak yang menawarkan (melakukan "offerte") maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.

Dengan demikian maka yang akan menjadi alat pengukur tentang tercapainya persesuaian kehendak tersebut adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak. Undang-undang berpangkal pada asas consensus, yang merupakan saat lahirnya perjanjian yang mengikat laksana suatu undang-undang.

Asas konsensualisme yang terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan dihubungkan dengan Pasal 1338 (1), dalam suatu jual beli, maka konsensualisme itu menonjol sekali dari perumusannya dalam Pasal 1458 KUHPerdata "Jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang barang tersebut dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.

Perjanjian jual beli yang ada di dalam jual beli suara pada esensinya adalah sama dengan jual beli biasa, namun yang berbeda adalah objek yang menjadi hal yang diperjanjikan, yaitu suara dalam Pemilu yang telah dibayar dengan uang, atau barang pemberian lainnya. Perjanjian jual beli suara memperjanjikan hak dan kewajiban penjual/pembeli, yaitu kewajiban menyerakan suara dalam Pemilu bagi pembeli dan menjadi hak bagi penjual, serta mendapatkan pembayaran berupa uang, atau barang yang menjadi hak penjual dan kewajiban bagi pembeli. Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1234 KUH Perdata.

Untuk menilai sahnya suatu perjanjian dalam jual beli suara harus melihat ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat sahnya perjanjian, yaitu:

a. Sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada kesesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan (dwang), kekeliruan (dwaling), penipuan (bedrog)16 dan penyalahgunaan keadaan. 

Dalam perjanjian jual beli suara kesepakatan telah tercapai pada saat kesepakatan jual beli suara dan harganya, yang berisi penerimaan (acceptance) dari suatu penawaran (offer). Penawaran tersebut akan memperoleh akseptasi bila pembeli setuju untuk menyerahkan uang atau barang lain sebagai pembayaran jual beli. Jika jual beli ini tidak mengandung unsur paksaan  (dwang), kekeliruan (dwaling), penipuan (bedrog) dan penyalahgunaan keadaan, maka perjanjian jual beli suara memenuhi unsur keabsahan perjanjian yang pertama.


b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.17

Para pihak telah berusia 18 tahun atau pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 KUH Perdata jo Pasal 47 UU No.1 Tahun 1974), tidak di bawah Pengampuan (Pasal 1330 jo Pasal 433 KUH Pedata) dan tidak dilarang oleh Undang-undang untuk     melakukan perbuatan hukum tertentu. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa pikirannya adalah cakap menurut hukum. Dan dalam perjanjian jual beli suara biasanya para pihak telah memenuhi syarat ini.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang atau jasa yang menjadi objek suatu perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai pokok (objek) suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Kata "hal" yang tertentu dan kata "hal" berasal dari bahasa Belanda onderwerp yang dapat juga diartikan pokok uraian atau pokok pembicaraan (atau pokok persoalan), maka zaak lebih tepat bila diterjemahkan sebagai pokok persoalan.18

Zaak dalam Pasal 1333 KUHPerdata (juga dalam Pasal 1332 dan 1334) lebih tepat diterjemahkan sebagai pokok persoalan, karena pokok persoalan atau objek dari perjanjian dapat berupa benda/barang, namun dapat juga berupa jasa tertentu untuk berbuat sesuatu.1

Suatu perjanjian seharusnya berisi pokok/objek yang tertentu agar dapat dilaksanakan. Perjanjian jual beli suara telah ditentukan jenis prestasi, yaitu berbuat sesuatu dengan memberikan suara pada caleg yang telah membeli suaranya. Jadi jual beli suara dapat memenuhi unsur ini.

d. Kausa yang legal

Suatu kausa yang legal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya suatu perjanjian. Persoalan pokok dalam hal ini adalah apakah pengertian perkataan kausa itu sebenarnya. Pengertian kausa adalah sebagai berikut:20
1. Perkataan kausa sebagai salah satu syarat perjanjian adalah sebab dalam
pengertian ilmu pengetahuan hukum yang berbeda dengan ilmu pengetahuan
lainnya;
2. Perkataan sebab itu bukan motif (desakan jiwa yang mendorong seseorang
melakukan perbuatan tertentu) karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.
3. Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari perkataan oorzaak (bahasa
Belanda) atau causa (bahasa Latin) yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuan yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian. Dengan perkataan lain sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.
4. Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan dalam Pasal 1335
BW adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu adalah isi bukan tempat yang harus diisi.

         Menurut Wirjono Prodjodikoro21 kausa dalam hukum perjanjian adalah isi tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya persetujuan itu. Syarat kausa yang legal merupakan mekanesme netralisasi, yakni sarana untuk menetralisir terhadap prinsip kebabasan berkontrak (freedom of contrac).22 

         Suatu perjanjian oleh hukum dianggap tidak mempunyai kausa yang legal. Undang-undang menentukan bahwa suatu perjanjian tidak memenuhi unsur kausa yang legal jika:23 Pertama, perjanjian sama sekali tanpa kausa; Kedua, perjanjian dibuat dengan kausa yang palsu; Ketiga, perjanjian dibuat dengan kausa yang terlarang, yaitu dilarang oleh peraturan perundang-undangan, bertentangan dengan kesusilaan, bertentangan dengan ketertiban umum.

Walaupun perjanjian jual beli suara telah disepakati, cakap, dan hal yang menjadi objek perjanjian telah jelas, namun yang menjadi pertanyaan apakah isi dari perjanjian tidak menyimpang dari undang-undang, norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum.

Politik uang atau jual beli suara yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pemberian uang dari calon anggota legislatif (caleg) dan atau partai peserta pemilu kepada pemilih dengan tujuan untuk merebut suara pemilih. Aksi jual beli suara ini berlangsung selama masa kampanye hingga detik-detik terakhir sebelum pemungutan suara. Dalam UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Legislatif Pasal 84 ayat (1) huruf (j). Pelanggaran syarat objektif dalam jual beli suara memberikan akibat hukum perjanjian jual beli melanggar unsur kausa yang legal.

Konsekuensi hukum dari pelanggaran kausa yang legal dalam suatu perjanjian jual beli suara, perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 1335 KUHPerdata). Dengan perkataan lain, suatu perjanjian tanpa suatu kausa yang legal akan merupakan perjanjian yang batal demi hukum (nietig, null and void).24Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan. Sehingga dalam jual beli suara pada pemilu tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan). 




DAFTAR PUSTAKA 



Badrulzaman, Mariam Darus, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2001.
Fattah, Eep Saifullah, Mengapa 1962-1997 Terjadi Berbagai Kerusuhan? Jakarta-
Bandung: Laboratorium Fisip UI bekerjasam dengan Mizan, 1997.
Fuady, Munir, Hukum Kontrak: dari Sudut Pandung Hukum Bisnis. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2001.
H.R. Daeng Naja, Contract Drafting, Cetakan Kedua. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2006.
Huntington, Samuel W., The Third Wave: Democratization The Last Twentieth
Century, Diterjemahkan oleh Asril Marjohan, Demokrasi Glombang Ketiga. Jakarta : Grafiti, 1995.
IDEA, Penilaian Demoratisasi di Indonesia. Swedia: International IDEA, Stochold,
2000.
Muhammad, Pemilihan Umum dan legitimasi politik. Jakarta: Yayasan Buku Obor,
1998.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Cet. VIII. Bandung: Mandar
Maju, 2000.
Rahman, Hasanuddin, Legal Drafting. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cet-6. Bandung: Putra Bardin, 1999. Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Edisi Revisi.
Bandung: Alumni, 2006.
Widjaja, Gunawan, dan Kartini Muljadi, Jual Beli, Cetakan Kedua. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
www.detikpemilu.com. Diakses tanggal 2 Mei 2009.
www.documentarynetworking.com. diakses tanggal 3 Mei 2009. 
www.okezone.com. Diakses Tanggal 2 Mei 2009.
www.suryaonline.com diakses tanggal 3 Mei 2009.




NAMA KELOMPOK :
1. Kartika Ratna Sari . W  ( 24212034 )
2. Septa Skundarian          ( 26212921 ) 
3. Shintya Permatasari      ( 26212989 )


0 komentar:

Posting Komentar